Saat Anda
menjual --atau meminjamkan-- buku kepada seseorang,
Anda tidak
menjual –atau meminjamkan—kepadanya 12 ons kertas, tinta, dan lem
-- Anda
menawarkan suatu kehidupan yang sama sekali baru.
(Christopher
Morley)
Haik! Novelnya
tebal! hingga bisa dicungkil sedalam mungkin agar --teroris seperti saya--,
dapat menempatkan pistol yang akan digunakan untuk menembak kepala George W
Bush yang batu! Memungkinkan pula –novelnya-- digunakan untuk melempar orang
fasis atau anjing pitbull sampai mati. Musashi!, sebuah magnum opus karya Eiji
Yoshikawa yang mendapatkan tempat di hati pecinta buku beberapa dekade silam.
Sebuah “kitab suci” psikologi yang memberikan pencerahan kepada tokoh-tokoh
spiritual seperti Gede Prama dan Sindunatha.
Dahulu novel
Musashi terdiri dari jiid-jilid kecil tetapi --ketika saya mengaksesnya di
tahun 2002--, ketebalan novel itu sungguh menakutkan bagi siapapun yang sedikit
anti membaca. Bagi saya, menamatkan novel Musashi merupakan suatu pencapaian
ambisius prestisius. Membaca Musashi seperti halnya memasuki pusaran waktu.
Seperti masuk ke dalam sebuah noktah hitam di penghujung umur alam semesta.
Maka, setelah
menyengajakan diri terserap kedalamnya, saya keluar menuju kehidupan nyata.
Tiba-tiba! –dalam beberapa hari, kehidupan ini menjadi begitu menakjubkan. Saya
merasakan betapa kuatnya pengaruh novel yang saya selesaikan selama 7 hari itu.
Ketika berjalan-jalan menuju sebuah air terjun tertinggi di Bogor, saya
menghayalkan keindahan alam berupa makro kosmos (alam semesta) dan keindahan
mikro kosmos (petani yang bercocok tanam, rumah-rumah beratap rumbia dan
tegalan yang masih basah oleh hujan) seolah-olah memiliki ruang waktu yang sama
ketika Tokugawa berkuasa. Padahal ini indonesia! Padahal ini abad sekarang.
Mungkin kalian
merasakan bahwa pernyataan saya terlalu diluap-luapkan. Tetapi, saya tidak
melakukan bombastisme. Tanyakanlah pada orang yang pernah membaca Musashi,
bagaimana tanggapan mereka, bagaimana perasaan mereka, bagaimana buku itu
mendidik mereka? Tanyakanlah! dan kalian akan mendapatkan jawaban yang sama
meski secara tekstual berbeda. Percayalah, bahwa saya tidak ikut multi level
marketing (MLM) penerbitan yang menerbitkan Musashi. Saya hanya ingin berbagi
rasa dengan kalian. Aha!
Di remang
senja yang memukau, seorang pemuda masuk di kehidupan saya. Dalam pertemuan
itu, kami bercerita cas-cis-cus tentang segala hal --termasuk tentang dirinya
dan tentang kecintaan saya terhadap dunia buku. Dan manakala dalam perbincangan
itu ia berkata “Ini realita man! bukan dunia khayal! Untuk apa membaca buku?
toh kita bisa mendapatkannya di kehidupan nyata!” maka terkutuklah ia!
Ting! Hening.
Sunyi. Suara gelegar petir dahului cahaya --karena seumur hidup, supersonik
tidak akan pernah dikalahkan oleh cahaya. Dan merahnya cahaya muka, mendahului
luap kemarahan yang akan saya ungkapkan lewat suara --setelah ia menyepelekan
saya.
Kalian tak
perlu mengetahui bagaimana saya marah bilamana berhadapan dengan orang yang
sombong itu (sebab marah saya menakutkan!). Saya hanya akan menjelaskan
bagaimana fungsi sebuah buku dalam kehidupan, agar kita tidak menyepelekan buah
pemikiran orang lain --seperti halnya yang dilakukan teman saya itu.
Sewaktu cilik,
manakala hidung masih meler-meler ingusan (saya tidak!)— ibu kalian pasti
pernah bercerita tentang sosok buaya. Begitu halnya dengan orangtua zaman dulu
saat memberikan pengajaran mengenai unsur alam kepada anaknya --menggunakan
bahasa. Salah satunya, mereka berusaha membahasakan bentuk buaya (yang si Rob
suka!). Bahwa buaya bentuknya memanjang, mulutnya lebar, giginya lebih tajam
dari kapak batu yang dipakai menguliti armadilo; bahwa buaya berbuntut dan
bersisik tebal. Mereka berusaha merekonstruksi bagaimana sifat-sifat buaya yang
jahat, yang suka berguling-guling, yang suka menyelam dan diam di sungai
seperti patung.
Apa yang
terjadi ketika “anak purba” bertemu sosok mahluk yang pernah di ceritakan
orangtuanya? Meski baru pertama kali bertemu, --seandainya ingat akan nasihat
orangtua--, tentu “anak purba” itu akan lari pontang-panting mencari tempat
perlindungan yang aman. Dan selamatlah satu orang anak manusia dari struggle
of the fittes (perjuangan mempertahankan hidup) melawan buaya.
Sun Tsu. Seorang ahli filsafat perang masyhur! Ia
dilahirkan di negeri Cina yang memiliki kondisi geografis beragam. Dalam zaman
peperangan yang berlangsung di negerinya, Sun Tsu membuat sebuah petunjuk
praktis ketika melakukan peperangan di gurun, padang savana, tundra, dataran
bersalju, gunung kapur, sungai dan danau. Ia memetakan kondisi geografis,
memaparkan kelemahan dan kelebihan dataran tersebut. Pengamatan dan
pencatatannya terhadap kondisi serta potensi alam --untuk memenangkan perang--,
mengangkatnya menjadi seorang mahaguru filsafat perang sepanjang masa.
Filsafat
perang Sun Tsu menjadi penting ketika seorang panglima sebuah pasukan tempur
mengalami kehilangan arah saat berada di sebuah belantara pegunungan yang belum
dikenalnya. Dalam situasi seperti ini --musuh yang telah lebih dahulu menguasai
daerah tersebut--, akan mudah memukul mundur pasukan tempur sang panglima.
Tetapi kejadiannya akan berbeda manakala sang panglima terlebih dulu
mempelajari peta belantara pegunungan serta bagaimana cara menghadapi pasukan
musuh seperti yang diajarkan Sun Tzu. Peta! Ini kuncinya.
Selaku mahluk,
manusia memiliki keterbatasan indera. Ia tidak bisa menjangkau seluruh fenomena
dalam satu jangka waktu yang sama. Manusia membutuhkan deskripsi fenomena
melalui bahasa yang disampaikan manusia lain --yang pernah mengalaminya. Hal
itu dilakukan agar --nantinya-- ketika manusia menemukan kecocokan sebuah
fenomena yang baru ditemuinya --dengan apa yang pernah disampaikan manusia
lainnya melalui bahasa-- maka ia akan mudah menentukan sikap.
Begitu halnya
dengan buku. Buku adalah petunjuk oral yang dipenjarakan dalam setumpuk kertas.
Buku adalah pemetaan sebuah fenomena. Bahasa yang ada di dalam buku,
merangkaikan kata menjadi gugusan kalimat, yang pada klimaksnya memuncakkan
sebuah makna mengenai kehidupan. Makna (baca : hikmah) yang inheren didalamnya,
merupakan peta penjabaran realita yang sudah --ataupun akan-- kita hadapi di
kehidupan sehari-hari.
Dalam novel
Musashi saya mendapatkan pemetaan kondisi manusia yang dituliskan Eiji
Yoshikawa mengenai: jika manusia memiliki keselarasan antara hati dan fikirannya
maka ia akan menjadi individu yang berkarakter. Individu yang merdeka! Waktu
dulu saya berusaha merenungi makna yang terkandung di dalam novel Musashi itu.
Saya memikirkan itu selama setahun. Waktu bergulir. Saya dihantam berbagai
macam sinisme dalam bentuk ucapan. Karakter saya dibunuh hanya karena saya
--yang katanya aktivis-- tak menggunakan kemeja dan celana bahan. Kata mereka,
“Dandanan lu kayak anak metal, mirip anak underground, serupa dengan dandanan
anak buahnya Che Guevara. Munafik loe!”. Di hantam dari kanan kiri, depan
belakang, atas bawah, mengakibatkan saya goyah dan tertarik untuk memakai
kemeja, juga celana bahan selama beberapa saat.
Perenungan
mulai berjalan. Saya kembali mengingat pemetaan kondisi manusia yang terkandung
dalam novel Musashi mengenai: jika manusia memiliki keselarasan antara hati dan
fikirannya maka ia akan menjadi individu yang berkarakter. Individu yang
merdeka! Karena makna yang terkandung dalam novel itulah saya mulai
mempertanyakan: apakah saya sudah merdeka jika saya masih bisa dipengaruhi oleh
anggapan orang lain --mengenai cara berpakaian saya, yang sebenarnya tidak
keluar dari konteks hukum syara (menutup aurat)?
Ternyata saya
belum merdeka! Ternyata antara hati --berupa keinginan untuk berpakaian apa
adanya--, dengan pemikiran --bahwa pakaian yang dipakai, bisa model apa saja,
asal menutup aurat-- tidak terjadi keselarasan. Saya akhirnya menjadi budak
anggapan orang. Mau tidak mau, sejak saat itu saya mulai belajar memerdekakan
diri! Dengan satu keyakinan, bahwa sejahat apapun anggapan orang, toh! anggapan
itu tak akan membuat saya mati terjongkang-jongkang.
Bagaimana
jadinya jika saya tak pernah membaca Musashi? Jika saya tak sempat mengkaji
pemetaan kondisi manusia? Saya beranggapan bahwa belum tentu, saya dapat keluar
dari prasangka, yang akhirnya menghantarkan saya menuju krisis pesonality .
Jika saya tak pernah mengkaji pemetaan itu, mungkin perkembangan kemerdekaan
diri saya menjadi terlambat. Lantas apakah dengan membaca Musashi, saya sudah
merdeka sepenuhnya? Kamu fikir ya!?
Dalam membebaskan diri dari anggapan orang lain
--mengenai cara berpakaian-- maka saya telah merdeka. Tetapi di sisi lain
ternyata tidak! Kalau kamu cermati --dalam kasus-- ketika saya menyesalkan
sikap teman dalam menyepelekan keberartian sebuah buku maka --seandainya
jeli--, kalian akan merasakan percampuran antara egosentrisme dan harga diri di
sana.
Ketika teman
saya menyepelekan buku, secara tidak langsung --saya merasa-- disepelekan.
Dalam kasus itu, saya berfikir bahwa saya belum merdeka dari omongan. Saya
merasa terganggu! Saya merasa direndahkan! Saya merasa ego dan harga diri saya
diusik! Dan saat ini saya merasakan, betapa lemahnya emosi saya waktu itu.
Tetapi itulah proses kehidupan. Itulah proses kesadaran mengenai ketidak-berartian
dan kelemahan manusia, di tengah konstelasi unsur alam semesta. Karena
kehidupan adalah proses pembelajaran mencapai kesempurnaan. Karena kehidupan
adalah proses perjalanan menuju sumber keagungan dan kebijaksanaan. (Jenderal
Divan Semesta). masih dari Openmind
Comments
Post a Comment