Hehe.. sobat muda muslim semua. Judulnya bikin bete
gak nih? Kebanyakan orang pasti berkerenyit mata dan dahinya kalo udah disuguhi
bacaan yang ngajak serius. Apalagi kita yang hidup di Indonesia ini. Gampang
banget nemuin orang yang malas membaca, apalagi yang ngajakin serius. “Ogah ah,
mending nonton iklan TV!”
Tapi kamu harus paham, bahwa dengan seriuslah kita
akan dihormati sebagai manusia. Lihat aja mereka yang ‘udah bisa jadi orang’.
Semuanya adalah orang-orang yang serius. Sedangkan mereka yang hanya bisa
menjadi beban bagi orang-orang di sekitarnya, atau kasarnya ‘sampah
masyarakat’, adalah orang-orang yang malas.
Sedangkan kita sebagai muslim telah diminta oleh
Allah SWT dan Rasul-Nya untuk selalu memanfaatkan waktu yang ada dan menjadi
manusia-manusia yang produktif, berpikir agar senantiasa bermanfaat bagi orang
lain.
Nah,
agar kita-kita bisa jadi muslim yang dinamis, produktif, penuh karya, dan
bermanfaat bagi orang lain, tentu saja kita harus memulainya dengan berpikir.
Kok pake mikir segala? Tentu saja. Sebab hanya orang-orang yang ‘otak-udang’
sajalah yang melakukan sesuatu tanpa dipikir terlebih dahulu. Tul gak? Allah
SWT berfirman:
Dan
janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta
pertanggungan jawabnya.
(TQS Al-Israa’ [17]: 36)
Hanya
saja, berpikir yang produktif bukan hanya asal berpikir. Tapi kudu berpikir
yang serius. Kaya apa sih berpikir serius itu?
Dalam
buku Hakekat Berpikir (2003) disebutkan, “Keseriusan (dalam berpikir) adalah
adanya maksud, (dan) adanya usaha untuk merealisasikan maksud tersebut,
disertai dengan adanya gambaran yang baik tentang fakta yang dipikirkan.”
Contohnya
gini, berpikir tentang bahaya bukanlah semata-mata untuk membahas tentang
bahaya, tetapi juga dalam rangka menjauhi bahaya. Berpikir tentang makan
bukanlah sekadar membahas tentang makan, tetapi juga dalam rangka memperoleh
makanan. Berapa banyak tetangga yang mantenan dan kapan saja jadwalnya. Hehe..
Berpikir
tentang permainan juga bukan semata-mata membahas permainan, tetapi ditujukan
untuk ikut bermain. Berpikir tentang piknik bukan pula sekadar membahas tentang
piknik, tetapi dimaksudkan untuk menikmati piknik. Bagaimana bisa puas
menikmati perjalanan dan pemandangan yang ada, tetapi tetap gratis. J
Begitu juga dengan berbagai aktivitas berpikir
lainnya, bagaimanapun jenisnya. Intinya adalah berpikir tentang sesuatu plus
berpikir tentang bagaimana mewujudkan sesuatu yang dipikirkan itu. Ini dia nih,
yang dinamakan dengan berpikir serius.
Berpikir
tentang suatu hal mesti dimaksudkan untuk mengetahui hal tersebut. Sementara
berpikir tentang realisasi hal tersebut harus ditujukan dalam rangka
mewujudkannya. Tidak boleh ada kesia-siaan. Jangan sampe deh kita ngabisin
waktu dan meres otak, tapi cuma begitu doang, gak ada terusannya.
Kalo
kamu-kamu udah mulai berpikir dengan cara seperti ini, yakni berpikir bukan
hanya asal berpikir, tapi juga sekaligus berpikir bagaimana cara mewujudkannya,
kamu-kamu bakalan lebih mudah deh buat ngedapetin apa yang kamu inginkan. Suer!
***
Kebanyakan
manusia berpikir tidak secara serius. Akibatnya, berbagai aktivitas yang mereka
lakukan hanyalah semata didasarkan pada aspek rutinitas (kebiasaan) thok.
Kesia-siaan proses berpikir mereka tampak dengan sangat jelas. Sejelas teriknya
mentari siang hari di musim kemarau daratan Afrika yang gersang. Panas, bo!
Kebiasaan
buruk ini berarti bahwa, keseriusan dalam berpikir bukanlah sesuatu yang
alamiah. Tapi emang kudu kita latih agar selalu hadir setiap saat kita
berpikir.
Oleh
karena itu, keseriusan dalam berpikir harus diusahakan dengan benar. Dalam hal
ini, adanya maksud-tertentu merupakan asas dalam berpikir serius, sedangkan
menciptakan keseriusan merupakan tujuan itu sendiri. Mereka yang berpikir
tentang sesuatu tapi gak bermaksud untuk mewujudkannya, ya terpaksa harus kita
coret deh dari daftar orang-orang yang berpikir serius. Bye bye.
Misalnya, orang yang sedang berpikir tentang
pernikahan tapi nggak memperhatikan hal-hal yang dapat merealisasikan
pernikahannya. Pada saat demikian, ia tidak dikatakan berpikir serius tentang
pernikahan. (Cuma ngayal porno, kali?)
Juga
seseorang yang berpikir agar bisa memberi makan keluarganya tetapi malah
bermain-main dan berkeliling di pasar tanpa usaha. Pada saat demikian, ia pun
tidak dianggap sebagai orang yang serius dalam memikirkan nafkah keluarganya.
Demikian
juga kamu. Kalau kamu berpikir pengin jadi ilmuwan, dokter, penulis, programmer,
usahawan atau apapun, tapi kamu nggak melakukan usaha-usaha yang emang bisa
mengarah ke sana, ya wassalam lah.
Kalo
kamu berpikir pengin jadi dokter, ya belajarlah sungguh2 ilmu biologi, anatomi,
neurologi, parasitologi, virologi ataupun ilmu2 lain yang berkaitan. Jangan
malah sibuk ngoleksi foto-foto dan ngapalin lirik lagunya personil AFI. Itu
artinya Jaka Sembung turun gunung mampir makan di warung, alias kagak nyambung!
Apalagi
yang lebih edan nih, sibuk ngapalin gaya film-film atawa gambar-gambar porno
dengan alasan, “Ini gue juga lagi belajar anatomi!” Wasyahhh.. Itu mah bukannya
serius berpikir jadi dokter, tapi serius berpikir mau jadi tamunya malaikat
Malik! Ya nggak, pren?!
Walhasil,
berpikir serius meniscayakan adanya usaha untuk merealisasikan maksud yang dipikirkan.
Dan juga, usaha tersebut harus setaraf alias nyambung dengan maksudnya. Kalo
seseorang tidak berusaha untuk merealisasikan maksud dalam berpikirnya, atau
sudah berusaha mewujudkannya tapi gak nyambung dengan apa yang dipikirkannya,
maka ia tetap tidak dianggap serius dalam berpikir.
Omongan
seseorang bahwa ia serius dalam berpikir juga nggak cukup buat ngebuktiin
keseriusannya. Para politikus yang lagi sibuk dengan pemilunya bolehlah obral
janji ke sana kemari “akan mensejahterakan rakyat” sampe mulut berbusa. Tapi
kalo kenyataan selama mereka jadi pejabat negara selama bertahun-tahun yang ada
cuma perut mereka yang semakin tambun, ya sama aja bodong.
Dengan
demikian, upaya real untuk melaksanakan sejumlah aktivitas fisik yang setaraf
dengan apa yang dipikirkan merupakan hal yang harus ada demi terwujudnya
keseriusan dalam berpikir, agar dapat menjadi bukti keseriusannya dalam
berpikir.
Individu-individu
yang malas, orang-orang yang tidak mau menanggung berbagai risiko, orang-orang
yang didominasi rasa malu; rasa takut, atau ketergantungan kepada yang lain,
mereka semua sebenarnyanya tidak pernah serius dalam apa yang mereka pikirkan.
Hal
ini dikarenakan, kemerosotan berpikir akan mendorong seseorang untuk
menginginkan yang mudah-mudah, sehingga dia enggan mengupayakan hal-hal yang
lebih berat dan sulit. Pengin jadi orang kaya tapi nggak mau berkeringat.
Pengin lulus ujian dengan nilai bagus, tapi malas untuk menyerap ilmu dan
latihan soal.
Kemalasan
bertentangan dengan keseriusan, dan ketidakmauan menanggung risiko akan
memalingkan kita dari keseriusan. Sementara rasa malu, takut, dan
ketergantungan kepada yang lain juga akan menghalangi kita dari keseriusan.
Nggak paham ilmu yang lagi disampaikan, eh malu nanya. Giliran diajakin
nongkrong di pinggir jalan sambil nggodain tetangga desa lewat, ilang tuh
malunya! Huh, dasar!
So,
upaya mengangkat taraf berpikir, menghilangkan kemalasan, menghapus keengganan
untuk menanggung risiko, membedakan rasa malu dengan apa yang wajib dimalui,
menumbuhkan keberanian, serta menjadikan sikap bergantung pada diri sendiri
(mandiri), kudu kita jadikan sebagai kebiasaan yang harus dimiliki. OK?!
***
Keseriusan
dalam berpikir tidak mengharuskan adanya “jarak (waktu) yang dekat” ataupun
“jarak (waktu) yang jauh” antara berpikir dan amal (berbuat), karena amal
sendiri merupakan buah dari aktivitas berpikir.
Ada
orang yang berpikir untuk dapat pergi ke bulan, sementara jarak antara ia
berpikir dengan sampainya ia pada tujuan tersebut jauh sekali. Ada juga orang
yang berpikir tentang makan, tapi jarak antara berpikir tentang makan dan
aktivitas makannya itu sendiri cuma beda beberapa menit. Contoh gampangnya kalo
kamu lagi ngabuburit nunggu bedug pas bulan puasa itu lho.
Walhasil, masalahnya bukanlah masalah jarak, karena
jarak antara berpikir dan berbuat tidak harus dekat atau jauh. Kadang-kadang
dekat, kadang-kadang jauh. Yang terpenting adalah keharusan adanya perbuatan
alias usaha sebagai hasil dari aktivitas berpikir.
Dengan demikian, berpikir itu wajib menghasilkan
amal, baik itu berupa perkataan seperti yang dihasilkan para penulis lagu dan
sastrawan, atau berupa tindakan nyata seperti yang dihasilkan para ilmuwan
dalam ilmu-ilmu eksperimental. Atau juga berupa pekerjaan fisik langsung
seperti makan, mengajar, dan lainnya.
Begitulah
sobat muda muslim semua. Untuk dapat menghasilkan buah yang sedang dipikirkan,
berpikir mesti dilakukan dengan serius, baik buah tersebut nantinya benar-benar dapat diperoleh atau
malah gagal diraih sama sekali. Ingat, yang namanya kegagalan itu harus ada
kalo kita mau berhasil.
Keseriusan
merupakan faktor yang harus ada dalam aktivitas berpikir. Tanpa keseriusan,
aktivitas berpikir hanya akan menjadi sia-sia dan main-main belaka, atau hanya
merupakan rutinitas yang dilakukan terus-menerus karena adanya dominasi adat
dan kebiasaan.
Rutinitas berpikir semacam itu hanya akan menjadikan
seorang pemikir menganggap baik kehidupan yang dijalaninya, padahal sebenarnya
buruk. Lebih dari itu, cara berpikir seperti itu akan menjauhkan benak manusia
dari setiap gagasan tentang perubahan, atau setiap upaya untuk berpikir tentang
perubahan.
Padahal kita semua diminta oleh Rasulullah untuk
selalu dinamis. Hari ini harus lebih baik dari hari kemarin, dan hari esok
harus lebih baik dari hari ini. So, marilah kita jelang hari esok yang lebih
baik. Pasti. [hnf]
Comments
Post a Comment